Rom. 2:17-29
Tradisi sunat terpelihara bagi bangsa Israel sejak leluhur mereka, yaitu: Abraham (Kej.17:9-27), Musa (Im. 12:3) dan Yosua (Yos. 5:2-7). Semula sunat (memotong ujung kulit khatan laki-laki) semacam upacara magis, seperti yang dilakukan oleh istri Musa, Zipora, yang menyunat anaknya untuk menyelamatkan Musa (Kel. 4:24-26). Masyarakat Barat modern mendukung pelaksanaan sunat ini dengan alasan kesehatan.
Perikop ini mengkisahkan kritikan Paulus tentang pelaksanaan sunat terhadap orang-orang Yahudi yang menginginkan agar para penyembah berhala yang bertobat harus lebih dahulu menjadi anggota perjanjian Abraham dengan disunat, sebelum dibaptiskan sebagai orang Kristen. Artinya, sebelum menjadi orang Kristen mereka terlebih dahulu “diadatkan menjadi orang Yahudi atau proselit” baru menjadi orang Kristen. Paulus menganggap ini sebagai sesuatu yang berlebihan. Meskipun diakui Paulus bahwa sunat itu berguna karena telah dimaknai sebagai sebuah tanda bahwa dia tidak lagi dikuasai oleh keinginan daging atau duniawi melainkan tunduk dan taat kepada Tuhan (terhisap atau melebur ke dalam diri Allah) dengan melakukan Hukum Taurat dan keinginan Allah. Kenyataannya orang Yahudi yang dikatakan pintar, taat kepada Hukum Taurat dan bangga akan ke-Yahudiannya justru dengan seenaknya juga melanggar Hukum Taurat itu dalam kehidupannya. Mereka yang jijik terhadap segala berhala tapi dengan melanggar Hukum Taurat pun sebenarnya itu merupakan kejijikan juga bagi Tuhan.
Paulus membaharui hukum sunat yang dilakukan secara lahiriah agar dilakukan secara rohaniah. Pemikiran ini dilandaskan kepada sebuah keteladanan yaitu sikap dan praktik kehidupan yang benar-benar melakukan dan taat kepada Hukum Taurat, yang menjadi cerminan bagi para penyembah berhala maupun gaya hidup orang percaya. Meletakkan sunat itu tidak secara jasmani atau di ritus belaka yang memberi prestise kebudayaan atau kesalehan namun tampak nyata dalam kehidupan yang tidak melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Ke-Yahudian atau ke-Kristenan tidak dibangun dari melakukan hukum sunat melainkan dengan melaksanakan Hukum Taurat itu sendiri. Selanjutnya, orang Kristen harus mengimani bahwa iman Kristen didasarkan kepada Kristus dan kita beroleh keselamatan dengan beriman kepada Kristus Yesus bukan dari perbuatan baik maupun melakukan Hukum Taurat meskipun itu semua berguna sebagai buah atau gaya hidup orang yang telah diselamatkan. Semoga melalui kotbah minggu ini kita semua berusaha untuk mencari dan menggali secara terus-menerus makna pesan yang disampaikan di dalam Alkitab secara rohaniah untuk dibawa di dalam kehidupan sehari-hari untuk dihidupi. Amin. (Pdt. Rudi Saut Mampe Pardede)